Sunday, August 11, 2013

PULAU CANGKE (Pulau Cangke a.k.a. Pulau Cengkeh, Kabupaten Pangkajene Kepulauan)

Day 1 (Sabtu, 10 Agustus 2013):
Gak terasa hari sudah hampir pukul 12.30 wita. Aku belum mandi gegara sejak pagi sibuk ngurus perlengkapan buat dibawa ke Pulau Cangke. Andre membantuku dengan mempersiapkan alat masak, dan logistik. Semua pakean, flying sheet, hammock, dan sleeping bag dimasukkan ke carrier dan semua logistik beserta kompor, alat masak, dan alat makan-minum masuk ke d-pack. Semua dipacking di kamarku yang indah. Ketika semua siap, kami langsung berangkat menuju ke basecamp. Ternyata kami tiba lebih dahulu dan keberangkatan yang rencananya pukul 13.00 molor sampai pukul 14.35.

Singkat cerita, kami sampai di Pelabuhan Paotere. Sehari setelah lebaran, pelabuhan ini hampir sepi. Sebuah kapal kayu nampak merapat ke pelabuhan begitu kami sampai. Segera segala perlengkapan dimasukkan ke kapal termasuk yang empunya barang tentunya. Perlu diketahui, memasukkan barang dan manusia ke perahu yang memuat sekitar 30-40 orang ini, punya tantangan tersendiri.

Di awal perjalanan, keganasan ombak bulan Agustus mulai mengombang-ambingkan kapal kayu yang kami tumpangi. Percikan-percikan air mulai membasahi pakaian. Perjalanan ini benar-benar menegangkan bagi orang berani seperti saya, hahaha. Apalagi ketika melihat di sekitar gak ada pulau terdekat dan ombak sepertinya lebih tinggi daripada kapal. Sepanjang perjalanan, aku terus-menerus memeluk tiang sambil berdoa, "Tuhan, semoga ini bukan perjalanan terakhir saya" (doa orang lebay).

Well, sekitar 3 jam kami bergulat dengan ombak besar dan rasa was-was hingga akhirnya kami tiba di Pulau Karanrang. Di pulau ini, kami menguatkan hati sejenak sambil membeli air minum kemasan. Dari Pulau Karanrang, kami masih harus melanjutkan perjalanan sekitar sejam untuk sampai di Pulau Cangke. Meskipun sudah dekat tetapi kapal kayu yang kami tumpangi mendapat cobaan yang lebih berat daripada sebelumnya. Seorang kru kapal hampir terlempar ke laut saking kerasnya ombak. Elsa dan Vero bahkan sampai harus jackpot (muntah) di dalam kapal sampai kami tiba di Pulau Cangke.

Pulau Cangke merupakan pulau yang paling indah dari puluhan pulau di Kabupaten Pangkep. Pulau ini hanya dihuni oleh sepasang manusia yang sudah lanjut umurnya. Sudah sejak tahun 80-an, Daeng Abu menempati pulau ini bersama bersama dengan istrinya. Pulau ini lumayan terawat. Hal itu nampak dari beberapa gazebo yang didirikan pemerintah dan dilengkapi dengan sebuah dermaga.

Setiba kami di sana, kami tak langsung menemui Daeng Abu. Tetapi mencari lokasi yang bagus untuk memasang tenda dan membuat dapur karena hari sudah semakin gelap. Setelah tenda terpasang dan makan malam, kami melapor keberadaan kami pada Daeng Abu sambil menyerahkan sebuah bingkisan agar beliau tahu kalo ada beberapa manusia lain yang gak jelas asal-usulnya ber-one night camp, di pulau yang selama ini didiaminya.

Di tempat yang gelap dan jauh dari kota kayak gitu, paling asyik nonkrong bareng temen-temen cerita-cerita, maen kartu, dan bernyanyi sepuasnya. Tapi dari semuanya, aku lebih senang menikmati kopi sambil menatap bulan sabit oranye di langit Pulau Cangke sampai akhirnya mata sudah ndak mampu lagi menahan kantuk. Bintang-bintang bertaburan di langit seperti pasir di laut memandangi kami yang tidur dalam kegelapan.

Day 2 (Minggu, 11 Agustus 2013):

Aku tertidur dengan nyenyak sekali meski beberapa kali terbangun karena penampakan beberapa sosok makhluk halus di sekitar flying sheet yang kubangun. Biasalah ... mana ada pulau kayak gini yang gak ada makhluk seperti itu. Pukul 05.30 aku terbangun karena suara alarm hp. Dengan sedikit jengkel karena masih senang tidur, kumatikan. Tetapi ternyata hp itu biar sudah dimatikan masih juga membunyikan alarm. Kulepas saja baterainya. Tetapi gara-gara kesibukan itu, malah aku bangun benaran. Dengan langkah gontai aku mulai mengambil Canon 60D dan Nikon Coolpix AW100 dan berjalan mengelilingi pulau sambil menunggu matahari terbit.




Pemandangan bawah laut yang ditawarkan sama pulau ini termasuk keren karena berbagai jenis terumbu karangnya terutama di pantai sebelah barat. Hanya saja kalian harus hati-hati dengan bulu babi yang juga menghuni daerah tersebut.
Untuk mengabadikan pemandangan bawah laut, aku menggunakan kamera Nikon Coolpix AW100 yang waterproof sampai kedalaman 10 meter.


Ringkasan Perjalanan:
Hari Sabtu pukul 13.00, kami ngumpul di depan PT Sermani, lalu naik angkot (pete-pete) menuju Pelabuhan Paotere. Dari Paotere, naik kapal kayu ukuran kecil menuju Pulau Cangke. Sempat singgah di Pulau Karanrang untuk nurunin beli air minum. Dari Pulau Karanrang, lanjut ke Pulau Cangke. Tiba pukul 17.45. Di sana menginap semalam.
Hari Minggu (hari ini) pukul 10.00, berangkat dari Pulau Cangke menuju Makassar (pulang, coy). Kapal kayu singgah lagi selama sejam di Karanrang. Sampai Pelabuhan Paotere, pukul 15.15. Jalan kaki sekitar sekilo untuk sampai di daerah operasi angkot. Tiba di sermani pukul 15.35. Jalan kaki lagi sekilo untuk sampai di rumah. Total pengeluaran: Rp. 60.000,- include ikan bolu bakar dengan perincian:
1. Sewa kapal : Rp. 40.000,- (PP)
2. Pete-pete (carter): Rp. 10.000,- (PP)
3. Ikan bakar : Rp. 10.000,-



***

Dan inilah foto-foto keindahan Pulau Cangke:








*******

And this is me, the author and the photographer:



The story is under construction. Sila mengunjungi post saya sebelumnya.
I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site. Thanks.



----------------------------------------------------------------------------------
Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas, Paroki St. Paulus-Tello Makassar.
  2. Member of Group : Arnoldus Dp, Titor Efrem Nurak, Melky Meko, Nugraha 'Memet' Hariandja, Fbc Auguste, Maria Triselia 'Mariconk' Guhar, Veronika Leong, Stella Alexander, dan Katarina 'Kajol' Elsa.
  3. The participant: Yakobus 'Masne', Andreas Okky Reston, dan Rannu.
  4. Arnoldus Dp untuk foto diriku yang saya upload juga di sini.

Wednesday, August 7, 2013

AIR TERJUN PARANGLOE (Desa Parangloe, Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan)

Pagi ini diawali dengan hujan rintik-rintik. Rencanaku semalam dengan Okky, adikku, terancam batal. Tetapi karna langit di sebelah Timur nampak biru, maka kami tetap mempersiapkan segala sesuatunya untuk dibawa ke Air Terjun Parangloe. Dengan semangat '45, Okky memasukkan segala macam perlengkapan ke dalam carriernya. Sedangkan aku mengepack kompor, piring, dan nesting. Masalahnya, gas ternyata habis dan uang gak ada. So, aku keluar menuju ATM untuk minta duit (karna dia baik hati dan tidak sombong) lalu ke Carrefour nyari gas kalengan. Sampai di pertigaan adipura aku liat seorang polwan cantik berdiri dengan anggunnya di pinggir jalan (mengatur lalu lintas atau cuman mejeng? Auk ah gelap). Entah mengapa aku merasa tertarik padanya dan ingin juga menjadi seorang polwan. Tapi itu nggak mungkin karena aku lelaki.

Kembali ke rumah, aku mandi dan langsung menuju rumah Victor D'Guhar karena Okky dan Eric (temannya Okky) sudah duluan berada di sana.

Dari rumahku, perjalanan kali ini hanya 35-an km. Tetapi tidak semua tempat dapat dijalani dengan motor karena dari PT Inhutani kita masih harus berjalan sekitar setengah jam (kurang lebih 2km) ke lokasi. Motor kami tak sanggup melewati medan seberat itu ... kecuali mungkin motornya orang nekat atau motor trail karena jalan yang berbatu-batu dan kadang-kadang dirintangi pohon tumbang.

Sudah sekian kali ke sana, aku merasa belum bosan untuk datang ke tempat tersebut. Sensasi makan  dan tidur siang di tengah hutan dekat air terjun mendorongku melakukan perjalanan ini. Sengaja kuajak juga Okky Reston, Victor D'Guhar, dan Eric Pratama (kutulis sesuai nama facebook mereka) untuk berpartisipasi biar nggak terlalu sepi dan bisa diajak kerjasama memasak dan membersihkan lingkungan sekitar.

Untuk dapat menikmati pemandangan indah di sekitar air terjun ini, kita hanya mengeluarkan ongkos transport doang. Selebihnya gratis. Meskipun demikian, kita mesti hati-hati karena daerah ini juga rawan dengan air bah yang datangnya tiba-tiba. Maka, kalo mau berenang, harus ada teman yang mengawasi debit air dan temen yang lagi berenang itu. Trus, perlu juga memperhatikan warna airnya. Kalo tiba-tiba keruh atau berwarna coklat, segera menyingkir dari situ daripada kamu pulang tinggal nama. Maka, sebaiknya nggak berenang kalo di arah hulu terlihat mendung atau hujan. Kalo perlu, nggak usah datang kalo cuaca nggak bersahabat (hujan).

Air terjun Parangloe merupakan satu dari sekitar 30-an air terjun di Sulawesi Selatan. Keindahannya terletak pada struktur batunya dan air terjunnya banyak dan bertingkat. Lingkungan sekitar juga masih alami sehingga sepanjang perjalanan kamu akan dihibur oleh orchestra serangga dan burung-burung. Tempat ini juga sudah dilengkapi dengan lokasi camping (campsite) yang letaknya sekitar 100 meter dari air terjun. Masalahnya, dari air terjun sampai ke campsite, jalur yang dilewati lumayan melelahkan karena dominan kemiringan jalur antara 30 s/d 60 derajat.



Peta dan Koordinat GPS Air Terjun Parangloe: 5° 13' 43.47" S  119° 39' 47.26" E atau -5.228646,119.664361



***

Dan inilah foto-foto keindahan Air Terjun Parangloe :





*******

And this is me, the author and the photographer:


I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site. Thanks.



----------------------------------------------------------------------------------
Thanx to:

  1. My brother, Andreas Okky Reston.
  2. Honda Blade -ku yang terkasih
  3. Canon 60D dan 1000D ku yang keyen.

Sunday, July 21, 2013

PULAU GUSUNG a.k.a LAE-LAE CADDI, (Kelurahan Lae-Lae, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar)


Hari ini hari Minggu. Seperti biasa aku bangun pagi-pagi, minum kopi, lalu mulai membersihkan kamar dan mencuci pakaian (yang sudah seminggu bertumpuk). Untung ada mesin cuci. So, tugas berat itu gampang diatasi. Maklum, saya gak hobi mencuci. Abis itu masak indomie pake telor, nasi, dan cah kangkung. Gak lupa sediain cabe merah 5 biji biar makan lebih semangat. Hidup yang sangat nyaman untuk makhluk seperti saya. Istri tak punya, anak apalagi, … di tengah keramaian, itu adalah kesepian yang sempurna, hahaha.

Well, bro. Aku gak mau menyelesaikan hari ini tanpa petualangan. Maka kuputuskan untuk mengunjungi pulau sepi terdekat: Pulau Gusung a.k.a Lae-Lae Caddi (Lae-Lae Kecil). Beberapa teman yang kuhubungi tak dapat menemani perjalanan kali ini. Akhirnya, ku ajak saja adikku, Andre, untuk menjadi assisten perjalanan. Dengan mengendarai motor, kami menuju pelabuhan kayu Bangkoa untuk menyeberang ke Pulau Gusung. Meski pelabuhan ini agak tersembunyi, kita gak perlu perlu susah-susah mencarinya karena di depan lorong yang mengarah ke pelabuhan tersebut para nelayan terlihat meneriakkan nama-nama pulau seperti “Samalona” dan “Lae-Lae”.

Ketika parkir, seorang nelayan datang menghampiriku, “Mau ke mana ki, Bos?”

“Ke Gusung,” jawabku. “Berapa?” Aku menanyakan harga.

“Berapa orang ki kah?” Tanyanya.

“2 orang ji.”

“Aih, mahalki kalo 2 orang ja ki karna ndak ada orang yang mau ke sana kecuali kita.”

“Jadi berapa mi itu?”

“100 ribu,” jawabnya kelihatan ragu-ragu.

“Pas-nya berapa?” Aku mulai menawar.

“80 ribu pulang pergi.”

“Sip.”

Gak jauh dari situ sepasang turis Jerman berhasil menawar 50 ribu untuk sampai di Samalona padahal pulau itu jaraknya 3 kali lipat dari Pulau Gusung. Aku menyesal. Tapi apa boleh buat nasi sudah jadi bubur kacang ijo. Itung-itung amal di bulan Ramadhan. Lagian, mungkin mesti jadi bule baru bisa dapat harga segila itu.

Sampai di Pulau Gusung, kami dihadapkan pada tumpukan bebatuan  yang disusun memanjang dari utara ke selatan untuk memecah ombak. Tempat ini sebenarnya indah namun sayang sekali tak ada satu pun tempat bernaung dari terik matahari. Begitu menemukan spot yang tepat aku mulai masuk ke dalam air dengan cukup yakin jika peralatan elektronik yang melekat di badanku semuanya waterproof. 5 menit di dalam air, aku mulai menyadari bahwa ada 1 benda yang belum kuselamatkan. HP cdma yang baru kubeli beberapa yang waktu yang lalu telah menemui ajalnya di tempat ini.


Pulau ini lebih populer dengan nama Gusung. Jaraknya kira-kira 1,5 km dari Pelabuhan Bangkoa, dengan luas kira-kira 2 ha. Posisi pulau ini berada di antara Pulau Lae-Lae dan Pulau Kayangan. Sebenarnya pulau ini bukanlah pulau tetapi sand barrier yang dibangun oleh Pengelola Pelabuhan Makassar sebagai pemecah gelombang, sekaligus melindungi kawasan Pelabuhan selama musim Barat. Pulau ini dihuni oleh 4 kepala keluarga padahal terdapat tanda larangan mendirikan rumah di situ. Untuk dapat menikmati sore di tempat ini sebaiknya anda datang pagi-pagi dan pulang ketika matahari mulai tinggi.



***

Dan inilah foto-foto keindahan Pulau Gusung (Lae-Lae Kecil) :




*******

And this is me, the author and the photographer:


I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site. Thanks.



----------------------------------------------------------------------------------
Thanx to:

  1. My brother, Andreas Okky Reston.
  2. Honda Blade -ku yang terkasih
  3. Canon 60D dan 1000D ku yang keyen.