Sunday, June 30, 2013

PPLH PUNTONDO (Dusun Puntondo, Desa Laikang, Kecamatan Cikoang, Kabupaten Takalar)

Aku benar-benar terharu melihat kedatangan Arnold yang datang jauh-jauh dari Pare-Pare demi ikutan trip kami hari ini. Di pundaknya tergantung sebuah kamera Nikon yang sudah siap ikut mengabadikan moment-moment tak terlupakan dengan lensa sapu jagadnya, 18-200mm. Lensa yang juga pengen banget aku miliki tapi karena belum menikah, jadi jangan dulu ... (apa hubungannya?).

Target kami hari ini adalah Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Puntondo yang berjarak sekitar 92 km dari Kota Makassar dengan waktu tempuh kurang lebih 3 jam. Di facebook, seorang teman sampai berkomentar "matabelo" saking jauhnya. Apalagi kalo harus ditempuh dengan kendaraan roda dua. Pulang pergi bisa kena ankylosing spondylitis atau hernia gara-gara jalan yang gak mulus. Well, jarak yang ditempuh kira-kira sama dengan kalo kita ke Pantai Punaga.


Menjelang Galesong Utara, kami disiram hujan dengan dahsyat, teman-teman memilih berteduh karena gak bawa mantel. Sedangkan aku dan Mariconk, gak peduli hujan, jalan terus. Berharap di desa berikutnya hujan sudah reda. Dan benar saja, di Galesong Selatan, bahkan tak ada tanda-tanda hujan. Karena rasa kesetiakawanan sosial, di desa Bontonompo kami berhenti di sebuah warung bakso untuk mengisi perut sambil menunggu teman-teman. Sekitar sejam kemudian barulah Patrik, Arnold, Elsa, Emma, Stella, dan Memet menyusul. Setelah semuanya makan, kami kembali menyusuri jalan menuju Puntondo.

Singkat cerita, tibalah kami di PPLH Puntodo. Tempat ini sudah beberapa kali aku kunjungi bersama-sama dengan anak-anak SMA Katolik Cenderawasih. Namun baru kali ini aku mengendarai motor ke sana bersama dengan KPA PINTAS. Sebelum memasuki Kompleks PPLH Puntondo, kita diharuskan mendaftarkan diri dan kendaraan di pintu masuk. Di situ kami memperoleh informasi bahwa jika hanya ingin jalan-jalan saja, tidak dipungut biaya sepeser pun. Senang rasanya apalagi bapak yang jaga gerbang benar-benar ramah dan baik hatinya.


Kira-kira 100m melewati gerbang, kita disuguhi pemandangan yang indah, berupa rumah-rumah dengan arsitektur bugis tradisional, dan susunan tangga-tangga yang unik. Rumah-rumah ini terdiri atas penginapan, asrama, restoran, perpustakaan, dan ruang pertemuan yang dihubungkan dengan jembatan yang terbuat dari kayu. Hampir semua kamar mandi di sini tak beratap sehingga berasa seperti mandi di sumur umum. Untuk diketahui, sebelum benar-benar menikmati pemandangan di tempat ini, kita perlu menemui petugas reservasi untuk mengetahui aturan dan biaya yang harus dikeluarkan. Yang jelas, kamu-kamu gak perlu cemas tentang biaya karena di tempat ini semuanya benar-benar murmer, bahkan gratis.


Pantai Puntondo merupakan salah satu pantai pasir putih yang masih alami dan bersih di ujung kaki Pulau Sulawesi. Kebersihan dan alamnya didukung juga dengan keanekaragaman hewan dan tumbuhan. Di daerah ini kamu bisa menemukan spesies ikan yang belum pernah kamu temukan sebelumnya. Pasirnya yang putih dihasilkan dari pecahan-pecahan karang dan cangkang hewan-hewan laut yang telah mati. Pecahan dan cangkang tersebut terhempas dan akhirnya hancur membentuk pasir putih. Karena alasan inilah, PPLH Puntondo meminta kepada pengunjungnya untuk tidak membawa pulang biota laut yang hidup maupun yang mati, termasuk pasirnya.


Pengunjung diwajibkan untuk ikut serta menjaga kebersihan pantai dan lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan, bahkan kita harus memilah dulu sampah organik dan sampah non-organik lalu membuangnya ke tempat yang sudah disediakan. Selain itu, kita sebaiknya ikut serta mengumpulkan sampah yang dibawa oleh laut ke beberapa kantung sampah yang sudah disiapkan di pinggir pantai. Seandainya di setiap tempat ada PPLH, saya yakin hampir semua pantai akan bersih dan rapi. Sayang sekali, kepedulian akan keindahan dan kelestarian lingkungan hanya milik segelintir orang saja.

Refleksi: Tuhan menganugerahkan bumi sebagai rumah dan tempat kita hidup. Tetapi untuk membuatnya indah, Tuhan memerlukan rekan kerja yang baik bagiNya. Maka Dia menciptakan manusia dengan kemampuan yang mengagumkan untuk memelihara bumi ini. Sayangnya, manusia kadang tak peduli pada tanah, air, udara, flora, dan fauna di sekitarnya.  Perusakan dan pencemaran lingkungan terjadi di mana-mana. Keindahan karya Tuhan bukan hanya ada di tempat-tempat tertentu saja tetapi juga di sekitar tempat kita berpijak. Hanya dengan sedikit usaha saja, kita tak perlu lagi ke Bali atau ke luar negeri karena semuanya ada di sini.

***

Dan inilah foto-foto keindahan PPLH Puntondo :




 



*******

And this is me, the author and the photographer:




I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site. Thanks.



----------------------------------------------------------------------------------
Thanx to:

  1.  Pengelola PPLH Puntondo (special thanks!) untuk penyadarannya. Good Job!
  2. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas, Paroki St. Paulus-Tello Makassar.
  3. Member of Group : Patrick Wp, Nugraha 'Memet' Hariandja, Katarina 'Kajol' Elsa, Mariconk Guhar, Stella Alexander, dan Arnoldus Dp.
  4. The participants: Emmanuella Lassar and Stella Alexander
  5. Honda Blade -ku yang terkasih
  6. Canon 60D dan 1000D ku yang keyen.
Maaf bagi temen-temen slalu nelpon atau sms atau chat via FB minta ikutan dalam trip kami. Bukan bermaksud jahat tak mengajak kalian. Perjalanan yang kami tempuh selama ini pasti terasa berat, tidak menyenangkan, dan membosankan bagi kalian yang memang hanya ingin bersantai. Seringkali, kami menempuh resiko tersesat dan masuk di daerah yang kurang ramah terhadap orang luar. Aku tidak ingin menabrakkan kebetean kalian dengan keindahan dunia ini. Atas pengertiannya aku ucapkan terima kasih.
Trus, perjalanan ini juga biasa dilakukan tanpa rencana yang matang. Biasanya sehari sebelumnya diumumkan via Facebook.

Oh iya, satu lagi, penampakan foto-foto yang ada di blog ini sudah dipress sedemikian rupa sama penyedia layanan blog ini (blogspot.com). Maka hasilnya pasti agak gimana gitu ...

Wednesday, June 19, 2013

PANTAI KURI CADDI: Dusun Kuri Caddi, Desa Nisombala, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Siang ini, aku mau bersih-bersih kamar karena modelnya sudah seperti kapal pecah. Tapi kemunculan Patrick di rumah membuat rencana berubah 180 derajat.
"Kaka, kita jalan sudah!" Katanya dengan logat kampung halamannya, Manado (eh!).
"Jalan kemana, Ade?" Tanyaku sopan.
"Ke rumah Bapa ..." Jawabnya santai.
"Jangan begitu, Ade. Tra bae." Aku menegurnya dengan keras.
"So, Kaka kasih usul sudah!"
"Kalo begitu, kita ke Kuri Caddi, Maros."
"Di mana itu Kaka?"
"Di hatimu ... yaa di Maros lah," jawabku esmosi.

Berdasarkan google map, perjalanan hari ini tergolong dekat. Hanya 25,1 km dari rumahku. Maka meluncurlah kami ke sana dengan Honda Blade. Sebenarnya aku belum pernah ke sana. Hanya baru-baru ini mendengar namanya dan kelihatannya bisa dijangkau dalam waktu singkat maka jadilah tempat itu sebagai destinasi trip kali ini.

Dari Jl. Abdullah Dg Sirua, kami menyusuri Jl. Perintis Kemerdekaan. Sampai di perempatan Jalan Tol (Jl. Ir. Sutami), kami sempat bingung karena jalannya satu arah saja. Untunglah ada abang tukang bakso yang memberikan jalur yang benar (dan google map juga mengkonfirmasi arahnya). Jadi, dari Perintis Kemerdekaan, kita belok kiri dan memutar di sebuah terowongan yang jaraknya sekitar satu kilo dari situ. Ketika menemukan jembatan penyeberangan tol, kami belok kiri dan mengikuti jalan satu-satunya yang kami pikir mengarah ke Kuri Caddi (Jl. K. H. Abd. Muin).

Karena keasyikan memandang panorama sepanjang perjalanan yang mengagumkan, kami kebablasan hingga ke Pulau Kuri Lompo. Terpaksa deh balik arah. Seharusnya, di depan SMP Islam Al-Wasih, kami harus memasuki gerbang tua berwarna merah di sebelah kiri jalan. Sejak melewati gerbang itu, jalan yang dilalui sangat tidak mulus, sempit dan berbatu-batu. Beberapa kali motorku harus kandas karena bebatuan yang besar atau mungkin karena kelebihan muatan (di belakangku, seorang makhluk raksasa duduk dengan tentram dan damai).

Di kiri dan kanan jalan yang dilalui kami melihat hamparan empang dan beberapa bangunan tak berpenghuni. Rasanya begitu sepi dan jauh dari keramaian. Hanya tiga atau empat orang nelayan tambak yang tampak menyusuri jalan setengah jadi itu. Karena takut kebablasan lagi, kami bertanya pada salah seorang nelayan, "Pak, Pantai Kuri Caddi itu di mana? Masih jauh kah dari sini?"
Dengan senyumnya yang ramah dia menunjukkan arahnya dan berkata, "Masih jauh. Tapi sudah dekat."
Mendengar jawaban itu, rasanya ingin membentur-benturkan kepala ke atas kap motor. Maksudnya apa coba? Tetapi kami tetap tersenyum karena kami memang pada dasarnya ramah.
"Terima kasih, Pak," kataku terhadap bapak yang setidaknya sudah meyakinkan kami terhadap arah yang akan kami tempuh.
Lagi merenungi nasib ini, bro.


Akhirnya, tibalah kami di Pantai Kuri Caddi. Beberapa ibu nampak asyik bercanda tawa di pinggir pantai sambil mengatur ikan-ikan kecil yang sedang mereka keringkan. Karena takut digoda mereka (karena kami berdua tampan, hahaha), kami mengambil jarak beberapa puluh meter dari tempat itu untuk bersantai sambil menikmati udara bersih dari polusi dan bau ikan kering sambil mengamati tanaman bakau yang tumbuh di sekitar.

Pantai ini sebenarnya indah, hanya kurang terawat. Tak jauh dari tempat kami berdiri terlihat sebuah dermaga (bekas dermaga, lebih tepatnya) yang sudah hilang sebagian mungkin akibat gelombang pasang. Beberapa perahu nelayan juga terlihat menambatkan perahunya di sana. Pantai di Kuri Caddi ini lebih banyak batunya ketimbang pasirnya. Ada pun pasirnya merupakan campuran antara pasir putih dan pasir hitam. Nah, foto-foto berikut merupakan penampilan pantainya ketika berada di dusun Kuri Caddi sore ini.







*******

And this is me, the author and the photographer:



I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site. Thanks.



----------------------------------------------------------------------------------
Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas, Paroki St. Paulus-Tello Makassar.
  2. Member of Group : Patrick Wp.
  3. Honda Blade -ku yang terkasih
  4. Canon 60D dan 1000D ku yang keyen.
Maaf bagi temen-temen slalu nelpon atau sms atau chat via FB minta ikutan dalam trip kami. Bukan bermaksud jahat tak mengajak kalian. Perjalanan yang kami tempuh selama ini pasti terasa berat, tidak menyenangkan, dan membosankan bagi kalian yang memang hanya ingin bersantai. Seringkali, kami menempuh resiko tersesat dan masuk di daerah yang kurang ramah terhadap orang luar. Aku tidak ingin menabrakkan kebetean kalian dengan keindahan dunia ini. Atas pengertiannya aku ucapkan terima kasih.

Oh iya, satu lagi, penampakan foto-foto yang ada di blog ini sudah dipress sedemikian rupa sama penyedia layanan blog ini (blogspot.com). Maka hasilnya pasti agak gimana gitu ...

Thursday, June 6, 2013

MENCARI PANTAI PUNAGA (dusun Barugaya, Kelurahan Cikoang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan)

"Bro, saya dan Patrik sudah di basecamp." Sms itu dikirim Matuh tadi pagi. Segera kukenakan semua kelengkapan outdoor gear yang sudah kusiapkan kemarin malam. Mengunci kamar, pamit sama adik-adik, starter motor, dan go..go..go. Our destination kali ini adalah Pantai Punaga. Gak tau kenapa dinamakan demikian. Mungkin karena di pantainya ada naga atau pantainya mirip naga, i didn't know. I really had no idea about the beach.

Sampai basecamp, Matuh dan Patrick sudah menunggu, kami langsung berangkat. Bermodalkan google map, bertiga, kami menyusuri sepanjang pantai barat Makassar, Gowa, dan Takalar. Jarak tempuh sekitar 90-an km dengan kecepatan rata-rata 50 km/jam. Di daerah Tala-Tala kami singgah, ngopi-ngopi, dan mengkonfirmasi apakah jalan yang akan kami lalui benar-benar menuju Pantai Punaga atau nyasar ke tempat lain, misalnya, Disneyland, Neverland, atau Kuvukiland-nya Mr. Bones.

A = Basecamp, B = Pantai Punaga (Mohon maap sekeluarga karena anda harus melihat dengan kaca pembesar huruf A dan B)


Ikan tembakul
Meskipun sudah menggunakan google map, kami masih harus bertanya pada beberapa orang yang kami jumpai di jalan, jaga-jaga jangan sampai lost in nowhere. Masalahnya, daerah Topejawa, Punaga, dan Puntondo tidak terpetakan dengan baik dalam gadget dengan sistem navigasi google karena signal gak stabil. Mungkin harus punya GPS ya?

Toh, kebablasan juga meski sudah rajin bertanya. Kami terdampar hingga dusun Puntondo. Untunglah pemandangan di sana juga keren. Kami pun memutuskan beristirahat di situ sambil menikmati pasir putihnya dan mengamati ikan-ikan kecil yang bisa jalan di atas batang-batang kayu (ikan tembakul). Semua bekal berupa roti dan aqua juga kami habiskan di sana (lapar dan haus stadium 4!). Abis makan kami mulai beraksi seperti anak kecil yang baru melihat laut. Hampir lupa kalo destinasi yang sesungguhnya adalah Pantai Punaga. Btw, karena PPLH Puntondo merupakan target operasi selanjutnya, maka tulisan mengenai Puntondo akan ada di edisi selanjutnya.

Gaya motret kedua orang ini  menunjukkan kalo mereka memang pro dan dapat dikategorikan dalam 7 gaya motret terbaik  on the spot-nya Trans 7.
Sedangkan gaya motret seperti ini menunjukkan kalo orang ini kurang tinggi tapi tetap tampan, hehehe.
Setelah tersadar dari euforia panorama Puntondo, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Punaga. Itu artinya, kami harus berbalik arah sebab jalan menuju Punaga, telah terlewati. Karena gak ada penunjuk jalan, maka kamu harus rajin bertanya. Setelah melewati Topejawa, di pertigaan Puntondo dan Punaga, aku lihat ada penjual bensin eceran. Oleh karena itu, kamu kudu rajin bertanya sama siapa saja yang menjual bensin eceran di daerah tersebut (itung-itung bergaul dengan penduduk sekitar).

Dari pertigaan, kami masih harus mengendarai motor ke Barat. Sepanjang jalan yang ternyata panjang, hati ini selalu bertanya, "kapankah pencarian ini akan berakhir?"

Setiap sisi jalan diamati dengan cermat untuk mencari tanda-tanda Punaga. Hingga akhirnya, tibalah kami di suatu tempat dengan spot yang indah (sekitar 3 - 4km dari pertigaan). Di tempat tersebut ada 3 buah villa dan sebuah bungalow. Kami memberanikan diri masuk ke pintu gerbangnya. Tiba-tiba dari balik sebuah pohon besar muncul seorang bapak. Kumisnya tebal, giginya jarang-jarang berwarna kuning kecoklatan, tatapannya nanar, badannya kurus, dan memegang sapu (jreng-jreng-jreng). Kami terpana beberapa saat ketika menyadari kehadirannya, mencoba menganalisis apakah makhluk ini termasuk makhluk yang bisa ditanyai atau ... sejenis makhluk dari dunia lain.

"Maaf, Pak. Kalau boleh tahu, daerah ini namanya apa?" Tanya Patrick ragu-ragu karena di tempat ini memang gak ada papan atau apalah yang menunjukkan nama daerah ini kecuali sebuah gapura terakhir yang bertuliskan "Dusun Barugaya".

Bapak itu tersenyum (ternyata bisa senyum, bray!). Sebuah senyum yang gaul dan eksotik.
"Pantai Punaga, dek," jawabnya.

Dengan jawaban itu maka berakhirlah sudah pencarian kami.

"Boleh numpang parkir di sini, Pak," tanya Patrick lagi.

"Ooh, boleh. Silahkan!" Dengan ramah, Bapak itu mengarahkan kami untuk parkir secara aman.

Kebiasaan anehnya Matuh.
Segera setelah itu, kami mulai mengambil kamera dan memotret apa pun yang bisa kami potret tapi gak berenang. Padahal Matuh sudah tergoda sama pantainya yang landai meski berbatu-batu (dia 'kan makhluk amphibi). Sayang sekali, kami gak bawa baju ganti karena gak tau kalo pantainya ternyata bisa dipake berenang. Sungguh berbeda dengan informasi yang kami terima sebelumnya yang mengatakan bahwa lautnya curam dan gak memungkinkan orang untuk berenang. Lagian, awan gelap yang datang dari sebelah timur seakan-akan mengancam keberadaan kami di sana.
 
Pantai Punaga diapit oleh 2 buah tebing pantai dan keduanya menjorok ke laut. Karakteristik pantainya berbeda dengan Puntondo dan ke-awesome-annya gak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Menikmati tempat ini dan menenangkan urat-urat syaraf dengan pemandangannya, seem like a good idea. Meskipun kita memahami bahwa manusia adalah rekan kerja Tuhan untuk menjaga dan memelihara bumi ini (lih. Sollicitudo Rei Socialis art.29), namun itu bukan berarti kita nggak boleh menikmati keindahannya.
Mau menikmati hidup atau mengakhirinya, Bro?
Cintailah ploduk-ploduk Indonesia!


FYI, karena villa yang tersedia merupakan milik pribadi maka harga villa ditempat ini bervariasi, tergantung jumlah orang yang menginap. Pokoknya, saat aku nulis ini, per orang IDR 20k. Trus, kalo parkir, kamu harus ngerti sama yang jaga kendaraanmu. Untuk itu, gak ada tarif khusus. Seikhlasnya saja. About konsumsi, kamu bisa sediakan sendiri. Sekedar usul, pesanlah ikan pada nelayan setempat melalui Daeng Ngalle, si penjaga villa. Jangan lupa, sering-seringlah senyum pada masyarakat sekitar yang menandakan kamu orangnya peace, love, and geol getoh loh.


***

Dan inilah foto-foto keindahan "Pantai Punaga":










*******

And this is me, the author and the photographer:





I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site. Thanks.



----------------------------------------------------------------------------------
Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas, Paroki St. Paulus-Tello Makassar.
  2. Member of Group : Patrick Wp dan Matuh.
  3. Honda Blade -ku yang terkasih
  4. Canon 60D dan 1000D ku yang keyen.
  5. Matuh dan NIKON D3100-nya