Sunday, June 2, 2013

BUKIT TELETUBBIES: Dusun Rebbo, Desa Bengo, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.


Pagi ini (sekitar setengah sepuluh) basecamp Pintas tampak ramai. Tumben! Biasanya hari gini masih kosong. Beberapa cewek panitia LDK-OMK  terlihat asyik membungkus rica-rica dan bakso dengan gaya mirip ibu-ibu PKK dari desa manaaa gitu (sejujurnya, aku lebih tertarik pada bungkusan rica-rica daripada girlband cherryb**le yang sedang membungkusnya).  Ternyata bray, hari ini ada bazar berjalan dan mereka sudah sejak subuh mempersiapkannya. Pantas tampang mereka gak karuan.

"Kalian mau ke mana?" Tanya Elsa sambil menggaruk-garuk belakangnya dengan brutal (mungkin karena stress menghitung uang soalnya dia bendahara yang bercita-cita menjadi fisioterapis yang baik .... hehe, gak nyambung).

"Gak tau juga. Coba kau tanya Patrick. Soalnya yang usul perjalanan hari ini, dia." Jawabku sambil menunjuk sosok bertubuh besar yang sedang berkubang di lantai basecamp.

"Ini juga hasil searching di Gugel, Mbak-Bro. Namanya ... " Patrick segera terbangun dan mulai membuka-buka buku catatannya, "Bukit Teletubbies, di Kecamatan Cenrana, dusun ..."

"Jadi, kita jalan tanpa arah yang jelas ini?" Potongku. Aku mulai membayangkan tentang peta buta kalo ulangan di SD dulu. Pertanyaan seperti itu paling aku benci pas pelajaran IPS-nya Ibu Helena. Pasalnya, kalo salah ... ganjarannya menyakitkan. Rotan, man!

"Pokoknya dekat Camba," jawabnya seakan-akan mengerti apa isi kepalaku.

“Siapa saja yang pergi?” Tanya Elsa. Kali ini menggaruk-garuk hidungnya. (Jika sekali lagi dia bertanya sambil menggaruk anggota tubuhnya maka aku yakin ini pasti bukan penyakit biasa. Tapi untunglah hal itu gak terjadi karena sampai kami pergi gak satu pertanyaan pun terlontar).

“Saya, Kak Donny, Ito, dengan Matuh,” jawab Patrick sambil menelpon Matuh pake hp Elsa (dasar cumi). Sedangkan aku menelpon Ito.

Kita fast-forward saja adegan telpon-telponan (pencet hp, diam, pencet hp lagi, ngomong sebentar, menggerutu, dan banting hp). Hasil dari kegiatan telpon-menelpon ini adalah:
  1. Ito gak jadi berangkat karena anaknya tiba-tiba sakit.
  2. Matuh sedang konser bersama dengan kelompok Paduan Suaranya (suaranya memang indah kalo lagi bernyanyi dalam air).
  3. Hanya kami berdua, saya dan Patrick yang available karena teman-teman yang lain juga pada sibuk dengan bazaar.

Meski cuma berdua, namun itu bukan masalah karena kami adalah tim yang kompak dan tampan (sok narsis). Pukul 10:51, kami berangkat dengan mengendarai Honda Blade Repsol yang selama ini sudah menemaniku melewati berbagai bukit, gunung, dan lembah. Saat ini, keperkasaannya  harus diuji lagi dengan mengangkut seorang manusia besar selain diriku.

Berdua, kami menyusuri jalan poros Makassar-Maros dan jalan poros Maros – Soppeng (sebelum terjadi sesat pikir dan prasangka yang aneh-aneh, saya  tegaskan dulu bahwa kami bukan homo). Kurang lebih sejam di atas motor bikin punggung dan pinggul rasanya seperti mati rasa. Makanya, kami singgah di Alfamart-Maros sekalian tebar pesona pada kasir cantik (ups!) dan membeli logistik. Di situ kami bertanya pada seorang bapak tentang lokasi Desa Bengo. Jawabannya singkat, padat, dan jelas, “Jauuuuh”. (Oh, come on. Let’s get serious! Bapak sudah pernah disetrum?!)

Nah, sodara-sodara. Kami melanjutkan perjalanan. Di atas motor yang melaju dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam itu kami menikmati panorama indah sepanjang kabupaten Maros.  Setelah melewati tanjakan-tanjakan curam dan tikungan-tikungan berbahaya di antara tebing-tebing karst, kami singgah lagi. Kali ini di warung ibu Agnes Arruan.  Minum kopi sejenak dan bertanya sama bapak yang jaga toko (mungkin suaminya, peduli amat) tentang daerah dan lokasi yang akan kami tuju.

Sekitar 5 kiloan dari situ, kami menemukan Pasar Bengo. Kami berhenti dan Patrik bertanya pada seorang kakek di antara kerumunan massa yang sedang nunggu angkutan, “Permisi, Bapak tau di mana letak Bukit Teletubbies?”

Bapak itu tersenyum memperlihatkan gigi-gigi emasnya (sekarang udah jaman behel) dan menjawab dengan jujur, “Maap, Nak. Tena kuissengi (artinya: aku nggak tau).”

“Ya, iyalah. Mana mungkin dia tau. Bro, kalo nanya orang kira-kira, dong. Dari casingnya aja keliatan kalo dia lahir di jaman pra-teletubbies,” kataku dalam hati.

Pada saat itu, aku masih berpikir kalo nama ‘Bukit Teletubbies’ hanya bikin-bikinan bro Patrik doang. Namun, setelah beberapa kali bertanya dan seakan-akan orang yang ditanya kelihatan fine aja dengan nama bukit itu, bahkan menunjukkan arah yang benar, akhirnya aku yakin kalo masyarakat sekitar memang menamakannya demikian.

Derita kami adalah untuk sampai ke lokasi, kami harus berkali-kali tersesat. Bahkan hingga berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Itu karena kami malu bertanya, jalan terus. Namun ketika menemukan bukit itu, rasanya benar-benar mengharukan. - Jadi, untuk sampai ke sana kamu harus tersesat dulu supaya terharu, hahaha -. Mappingnya begini: Kira-kira 50 meter dari Kantor Camat Cenrana, ada Warung Makan “Hati Mulya”. Di depan warung tersebut ada jalan yang mengarah ke lokasi. Dengan kata lain, kamu harus belok kanan dari jalan Poros Maros-Camba ketika menemukan Hati Mulya. Kira-kira 500m atau sekilo dari situ, Bukit Teletubbies telah menunggumu. Kalo masih ragu, tanyakan saja pada penduduk sekitar. Mereka pasti tau tempatnya.

Sesampai di sana, aku menyiapkan kamera untuk mengambil gambar dan bro Patrick mengeluarkan Bendera Merah-Putih untuk ikut diabadikan di tempat seindah itu. Well, itu ide aneh tapi sangat cemerlang. Selain mengambil gambar, berlari, berputar, menari, dan bertingkah seperti Teletubbies, kami juga mengadakan kegiatan bersih-bersih lingkungan. Satu bukit, bray! Sampahnya tak banyak, namun lumayan merusak pemandangan.

Bro Patrik baru saja mengikat bendera pada sebatang kayu."Ini bendera terkeren yang pernah saya pegang, Bro. Mau dipasang di mana?" tanyanya.
Ini aku di puncak bukit. Gak jelas 'kan kalo itu aku?!

Aku lagi pegang bendera dan berpekik, "Merdeka!". Yang motret Bro Patrick

Gaya nggak jelas. Lagi ngukur bukit, Bro?

Ini Bro Patrick tampak belakang. Keliatan sekali semangat nasionalisnya.

Istirahat di salah satu spot. Ayah ibunya pasti bangga.



Bukit ini sebenarnya gak mirip-mirip amat sama the real Teletubbies' Hills. Tapi ketidakmiripannya itu tak mengurangi keindahannya. Kami di sana antara 30 menitan sampai sejam-an (gak tau pasti, pokoknya sampe sakit maag kambuh). Rasa lapar yang teramat sangat, memaksa kami be-say goodbye dengan panorama tersebut. Meski hanya kunjungan singkat, tapi kami sudah berada di sana dan menancapkan kuku di another hidden paradise of Sulawesi.

 Dan inilah foto-foto keindahan "Bukit Teletubbies"




*******

And this is me, the author and the photographer:



----------------------------------------------------------------------------------

I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site




----------------------------------------------------------------------------------
Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas, Paroki St. Paulus-Tello Makassar.
  2. Member of Group : Patrick Wulaa.
  3. Elsa untuk kedua pertanyannya.
  4. Honda Blade -ku