Sunday, May 26, 2013

ENJOYING BISEANG LABBORO (BISLAB), Desa Samangki, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan - Indonesia

Tujuan hari ini masih seputar Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Tepatnya ‘Biseang Labboro’ a.k.a Bislab. Lokasinya terletak kira-kira 5km sebelah timur Taman Nasional Bantimurung. Memang tak ada papan informasi yang menunjukkan tempatnya meskipun jalan menuju tempat itu cukup tersembunyi. Jadi kamu kudu bertanya sama penduduk jika sudah sampai di 'Maros Waterboom' karena daerah ini berdekatan. Beberapa kelompok mapala  dan sispala tentu tak asing dengan tempat yang indah itu: pemandangan alam yang tak biasa, aliran sungai  beriak dengan ornamen bebatuan besar di tengah-tengahnya, kupu-kupu yang lebih jinak daripada merpati, tebing-tebing tinggi, dan gua-gua yang tersembunyi. Kok tahu? Karena sudah dua kali aku ke sana.  So, this is the story about today's trip:

loading … please wait ...
 ****

“Jalan mi kalian. Kali ini ane skip, gan …” tulis Patrick dalam sms yang ditujukannya pada semua anak-anak KPA-Pintas lewat hp-ku.

Ku telpon, nanya alasan, ternyata dia baru bangun dan masih butuh tidur padahal jam sudah menunjukkan pkl. 12 siang. Hebat ‘kan?! Kuda Nil saja kalah. Sebagai sobat yang baik, aku menyayangkan kehilangan dirinya … padahal dia masih muda dan masih banyak keindahan dunia ini yang belum dinikmatinya. Semoga amal ibadahnya diterima, … ups, sorry!  Bro yang satu ini masih ready stock dan saat ini sedang mempersiapkan masa depannya sebagai eksekutif muda di bidang teknologi pertanian. Betul ‘kan, Pat?!

Okelah, beberapa teman yang ikut perjalanan ke Rammang-Rammang memang nggak ikut hari ini termasuk pentolan Pintas: Matuh, Patrick, dan Mariconk. Kekurangan personil, bukan berarti kurang seru, tetapi pasti ada yang hilang atau minimal tak sama jika mereka hadir. Mereka semua merupakan pribadi yang unik. Berbeda dengan Matuh dan Patrick, Mariconk adalah seorang wanita yang sampai kini gak aku mengerti kepribadian dan keberadaannya. Yang jelas cewek ini paling hobby mencubit, memukul, dan menendang. Partner sparingnya selalu Agus.

Dengan mengendarai motor, kami melalui jalan poros Makassar-Maros, kemudian berbelok ke Bantimurung (kalo kamu nggak tau Bantimurung, sungguh ter-la-lu). Kurang lebih sejam perjalanan dengan kecepatan rata-rata 60km/h, kami tiba di pintu menuju lokasi dan harus parkir di kolong rumah warga setempat dengan ongkos parkir Rp. 2000,-. For your information, kebanyakan rumah tradisional masyarakat di Sulawesi Selatan merupakan rumah panggung dan sudah tentu punya basement parkir kayak Mall. Keren kan?!

Setelah itu, kami harus berjalan kaki melalui jalan setapak yang kebanyakan diperkeras dengan batu-batu kali. - Bea masuk, Rp. 3000,-. Karena terlalu banyak urusan (mulai dari pake topi sampai mempersiapkan kamera) maka di awal perjalanan aku jadi the last man walking. Pada saat seperti itu aku merasa terasing, sepi, dan sendiri. Bayangkan jika anda ditinggal tanpa ada yang menemani: pikiran akan dipenuhi oleh halusinasi yang nggak-nggak! Tetapi daripada kalian membaca curhatku yang gak penting ini, mending kita lanjuuutttt ....

Nah, hal itu tak berlangsung lama. Ternyata Markos, Memet, Elsa, dan Ciwind telah menunggu dan pasti bahagia berjalan bersamaku karena aku membawa kamera yang selalu siap sedia mengabadikan pose-pose terbaik mereka. Soalnya selama ini, mereka adalah  'model' yang sudah sering malang melintang di media sosial meskipun baru sebatas album "behind the scene" di akun facebook-ku (:hammer). Dengan hati riang - gembira kami menerobos area hutan lindung Pattunuang tersebut, menelusuri setiap liku sungainya, dan tak lupa, foto-foto.




Setelah berjalan kurang lebih setengah jam, kami harus menyeberangi sungai. Akan tetapi karena satu-satunya jembatan di situ sudah lenyap sebagian, terpaksa kami harus mencari daerah yang dangkal dan bisa dilalui tanpa resiko terbawa arus, dimakan buaya,  terlilit anaconda, atau ditemukan oleh para orcs (tokoh jahat dalam Lord of The Ring). Namun di tengah usaha kami mencari, tiba-tiba terdengar suara aneh namun familiar (tuck-tuck-tuck). Seseorang telah mengeluarkan gas yang  tersimpan dalam perutnya (gak bermaksud nuduh apalagi fitness tapi pas kejadian, aku lihat bro Memet tertawa mencurigakan). Hal ini sebenarnya wajar tapi baunya itu loh man, no offense, bikin mual! Bahkan, beberapa tumbuhan di situ langsung berubah warna, saking cetar membahananya.

Saat menyeberangi sungai, semua orang saling berpegangan tangan, kecuali aku, memegang kamera ^__^ (Conk, seandainya kau hadir di sini ....). Btw, unsur kehati-hatian sangat dominan ketika menyebrang sungai ini karena tidak ada yang membawa webbing sebagai safety. Dan karena airnya agak keruh maka dasar sungai tak terlihat. Lagian, batu-batuan di dasar sungai dapat saja membuat cedera. Untunglah, aku tergolong sakti dalam hal ini (wekkks).

Singkat cerita, kami berhasil menyeberangi sungai yang lebarnya sekitar 20 meter. Tak jauh dari situ, kita akan melihat sebuah batu besar yang sekilas menyerupai perahu. Karena batu tersebut lah maka daerah ini dinamakan Biseang Labboro', yang berarti perahu yang karam/terdampar: alkisah, dulu ada seorang saudagar Cina yang datang melamar gadis dari desa Samangki. Namun apa daya, his marriage proposal got rejected. So, saudagar tersebut mengutuk perahunya menjadi batu (kalo saya yang ditolak, maka H*nda Blade akan kukutuk jadi Sukhoi SU-30 MK2, wkwkwkwkw). Nah, sebenarnya, kami berniat untuk membuat parameter di situ. Tetapi beberapa kelompok mapala sudah mendirikan tenda dan menjadikannya lokasi diksar untuk panjat tebing, kami terpaksa mencari lokasi lain. So we keep move on ...










Arnold,  Memet, dan Markos yang berada paling depan mulai mendeteksi lokasi terbaik untuk menikmati Bislab sambil berenang. Begitu ketemu, para pencinta alam ini langsung buka baju dan berendam di sungai diikuti Ronald dan Rishet. Aku pun tergoda untuk berkubang tetapi ketika mencari second-pack dalam tas, aku cuma menemukan seperangkat baju dalam dan kolor ijo ^__^ (tepok jidat). Pakean ganti pasti tertinggal entah dimana. Nggak jadi deh menikmati sejuknya sungai Bislab.
 
   




Pkl. 2.30 siang, rasa lapar sudah memanggil. Agus mulai membagikan nasi bungkus lalu menyalakan kompor kupu-kupu untuk memasak kopi. Setelah kenyang akan rahmat Tuhan berupa makanan, segelas kopi benar-benar menyempurnakan hari. Life is good! Aku kembali mempersiapkan kamera dan memotret keindahan Bislab. Kenarsisan teman-teman juga mengundangku mengabadikan moment bahagia ini. Beberapa spot di sini benar-benar awesome. Bagi kamu yang depresi atau stress berat, tempat ini paling rekomended.

Warning: karena materi di tempat ini lebih berkaitan dengan susur sungai, maka tempat ini gak baik dikunjungi pada musim penghujan karena arus akan semakin deras dan sungai menjadi semakin dalam. Anda juga disarankan untuk tidak naik ke atas batu Biseang Labboro' karena menurut cerita, di atas sana ada 'penunggunya' berupa ular berbisa (meski mungkin cuma mitos doang tapi gak ada salahnya 'kan menghormati kearifan lokal).

Mengingat perjalanan kembali ke tempat parkir dan kembali ke Makassar makan waktu sekitar 2 jam sementara cuaca seakan tak bersahabat maka diputuskan untuk menyudahi trip hari ini. Kami bergegas ngepack perlengkapan dan tak lupa membersihkan serta merapikan tempat sekitar seperti semula sehingga tak ada jejak tertinggal yang menandakan bahwa kami pernah ada di sana. Wise quote Indian kuno berbunyi, "Treat the earth well: it was not given to you by your parents, it was loaned to you by your children. We do not inherit the earth from our ancestors, we borrow it from our children." Yang artinya, "Kalo kamu nggak bisa membersihkan, jangan buang sampah sembarangan" ... (apa omong!).
  
Dan inilah foto-foto keindahan ‘Biseang Labboro’ a.k.a Bislab:



foto ini aku ambil pada saat pertama kali ke sini


*******

And this is me, the author and the photographer:




----------------------------------------------------------------------------------

I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site

----------------------------------------------------------------------------------
Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas, Paroki St. Paulus-Tello Makassar.
  2. Member of Group : Arnoldus Dp, Nugraha 'Memet' Hariandja, Winda 'Ciewind' Alwira,  Fbc Auguste, Markos Y. Kahia, dan Katarina 'Kajol' Elsa.
  3. The participant: Jeshert Riset, Veronika Leong, Stella Alexander, Emmanuella Lassa, Grace 'Gege' Ondey dan Ronald Vicarius Palinda.
  4. Jeshert Riset untuk beberapa foto yang saya upload juga di sini.
  5. Patrick WP untuk SMSnya.

Sunday, May 19, 2013

RAMMANG-RAMMANG, Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan - Indonesia.

Tiba-tiba telingaku menangkap suara anjing berkokok ... kok...kok...kok (nah lo?!). Loading sejenak, mengumpulkan kesadaran. Kubuka mata dan memandang berkas-berkas sinar dari ventilasi jendela. Pikirku, ini pasti sudah lewat jam 7. Kulirik jam dinding, pkl. 08.43.
“Astaga!”
Teringat pesan di dinding facebook semalam, “Teman-teman, besok jam 09.00 kumpul di pondokan. Kita ke Rammang-Rammang, siapkan … bla-bla-bla”.
“Ah, pasti ngaret …” pikirku  santai.
Dengan langkah gontai aku menuju ruang makan. Sarapan seperlunya (bukan karena takut gendut tapi malas masak) terus mandi, tidak lupa menggosok gigi.
Setelah semua outdoor gear kupacking dalam d-pack, saatnya meluncur ke basecamp. Sampai di sana, tak seorang pun kutemukan!
“%^%$#@%^! Aku pasti ditinggal! Tumben semua tepat waktu. ”
Tanganku segera merogoh hp, menelpon PJ perjalanan hari ini.
“Di  mana ko, Bro?” Tanyaku berapi-api setelah terdengar suara ‘halo’ dari seberang sana.
“Tunggumi. Sa masih ada urusan sedikit ine. Sebentar lagi saya ke situ.”  Katanya innocent.
Kesimpulan dan konsekuensi logis dari percakapan ini jelas:
  1. Aku orang pertama yang datang
  2. Aku harus menunggu sekitar sejam-dua jam.
  3. Perjalanan bakal lelet.
Dan benar saja. Pukul 11 lewat baru kami start. Perjalanan makan waktu sekitar 2 jam meski jarak yang ditempuh hanya sekitar 60-an km. Hal itu disebabkan karena beberapa kali singgah untuk membeli logistik, isi bensin,  menunggu teman, dan nonton tv (apaan?!!!).
Nah, untuk sampai ke Rammang-Rammang, kita harus melewati jalan poros Makassar-Maros dan berbelok di jalan menuju pabrik semen Bosowa (gak tau nama jalannya).

Sekitar 300 meter dari jalan poros, kami menjumpai dermaga kecil. Di atasnya tertulis 'Dermaga Rammang-Rammang'. Rencananya hari ini mau susur sungai (Sungai Pute, namanya) dengan perahu. So, kami bertanya pada yang empunya perahu berapa harga yang harus kami bayar untuk naik ke perahunya. Ternyata, 200rb rupiah per tujuh orang. Sedangkan kami ada 13 orang. Artinya, kami harus membayar 400rb. Mahal (sudah bisa beli carrier 70lt)! Menawar pun gak ada gunanya karena bapak daeng (what?!!) pemilik perahu tak punya belas kasihan.  Maka kami beranjak dari tempat tersebut. Beberapa teman yang sudah mendambakan untuk naik perahu terlihat kecewa namun tetap cemunguttt.

Walau kecewa namun usaha kami untuk menjelajahi kawasan karst Rammang-Rammang belum berakhir. Petualangan masih dilanjutkan meski hujan sudah mulai membasahi bumi. Akhirnya kami sampai di sebuah rumah. Seorang nenek  kebetulan lagi menikmati sore di berandanya.
"Bu, boleh titip motor di sini?" Tanya Arnold.
"Boleh, Bro." Si Nenek menatap matanya mesra dengan senyum tersungging.
(Hahaha, bagian ini gak usah diperpanjang).
Intinya kami nitip 7 motor di halaman rumah nenek itu.

Melihat rute yang akan dilalui, beberapa dari kami segera "berubah" menjadi Power Rangers, mengganti perlengkapan yang sesuai dengan kondisi medan. Sedangkan yang gak merubah penampilannya adalah mereka yang nggak bawa perlengkapan tambahan (karena berpikir akan naik perahu) atau memang udah tahu medan yang akan dihadapi.

Untuk menuju ke lokasi, kami harus melalui area persawahan yang kelihatannya baru ditanami. Ternyata melewati pematang sawah itu seru karena berkali-kali kami harus mencari jalur yang tepat untuk sampai di tujuan (jadi ingat game 'Labirin' di hp nokia jadul). Pokoknya, semakin banyak pematang di sawah, maka semakin bingung anda mencari jalan.








Aku memimpin dan sempat salah jalan ^____^. Itu karena aku didampingi seorang patih yang gagah perkasa, his name is Matuh. Setiap kali aku tanya, "lewat sini?", jawabannya selalu: "terserah", "bisa", atau "terus saja" meski di depan ada batu besar yang sulit untuk dilewati tanpa karmantel, harnes, carbiner, ascender, dan descender. Semua dijawab dengan nada datar dan tanpa ekspresi. Sangat bijaksana kelihatannya tapi bukan pilihan yang cerdas.







Beberapa teman yang salah kostum mulai menyesali diri dan memaki-maki. Apalagi ketika dengan terpaksa harus membenamkan kaki ke lumpur sedalam 5cm (sebenarnya post ini aku mau beri judul 5cm session 2). Semakin jauh ke dalam taman karst, semakin tinggi pula air dan lumpur. Dan, baju baru Elsa pun penuh noda bersejarah.




Karena Matuh selalu memberi pendapat yang riskan, aku kemudian menjadikan Patrick sebagai partner karena postur tubuhnya yang bisa dijadikan pelampung, jembatan, atau safety equipment lainnya jika keadaan berubah darurat (sementara yang lain tetap patuh sama Matuh). Kami memilih jalan yang berbeda dan kelihatan lebih save dari air dan lumpur dibanding jalan yang ditempuh teman-teman lain. Itu dikarenakan jiwa petualangan kami memang berbeda (pengaruh wajah, barangkali. Soalnya kami berdua tampan :p).






Namun, akhirnya kami bertemu di pintu sebuah gua kecil yang seperti sebuah prolog menuju dunia baru. Jalan di dalam gua dipenuhi air dan lumpur. Katanya, kalo musim kemarau, daerah ini kering banget. Tetapi sudah dua kali ke sana, aku menjumpai situasi yang sama: becek dan gak ada becak!

Sejak memasuki lokasi ini aku selalu waspada terhadap ular karena tempat seperti ini merupakan tempat berkembang biak yang baik bagi mereka. Tetapi untunglah, selama perjalanan, tak satupun yang memperlihatkan diri dan say 'hi'. Mungkin mereka malu-malu kedatangan makhluk sekeren kami. Kewaspadaanku bukan tanpa alasan. Beberapa kali terlihat semacam membran bekas shedding (ganti kulit) reptil itu pada celah-celah batu. Syukur-syukur kalo hanya ular biasa. Tapi bagaimana kalo ular spesies baru? Misalnya, ular yang bisa melontarkan api? Menurut literatur yang pernah saya baca (judulnya kalo nggak salah, "Fauna Karst dan Gua Maros, Sulawesi Selatan" terbitan LIPI Press), di daerah karst seperti ini memang paling banyak kemungkinan ditemukannya spesies baru dari jenis-jenis hewan yang biasa kita jumpai, seperti udang, ikan, kepiting,dsb.


Setelah melewati gua kita akan menemukan lorong-lorong dan celah-celah yang sempit, tetapi bukan lagi gua karena berupa dinding-dinding batu beratap langit. Tempat ini terlihat seperti di film-film coboy tempo doeloe. Temanku, Ito, pernah menyebutnya 'Grand Canyon'-nya Maros (bisanya pi itu). Bayangkanlah jika ada sekelompok Indian Sioux yang menggulingkan batu ke bawah maka jadilah kami hamburger penyet (tempe penyet, lewat!).



Di tengah keheningan perjalanan, tiba-tiba kami mendengar deru truck dan bunyi batu-batuan. Ternyata, sodara-sodara, kami menemukan sekelompok penambang batu alam yang tidak bertanggung jawab. Mungkin karena mereka dilahirkan tanpa pertanggungjawaban. Mereka merusak taman karst kami. Truck decepticon (yang pernah nonton 'Transformer' pasti tahu)  itu entah datang dari mana yang jelas, dia telah menembus kumpulan bebatuan yang dulunya ada di situ.

Kami berhenti di sebuah tempat yang teduh dari hujan dan panas. Agus mulai membagikan ransum dan kami pun makan bersama seperti sebuah keluarga yang bahagia. Makanan itu sebenarnya enak, tapi karena kami makan dengan tangan yang bersimbah lumpur, jadinya eneg sekali ^__^. So, teman-teman, kalo ke tempat ini wajib bawa sendok, hand sanitizer, dan tissue basah.


 






Abis makan-minum, take some photos, serta packing sampah untuk dibawa pulang dan dibuang di tempat yang seharusnya, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini masuk gua lagi dan tak disangka kami menemukan markas Batman dan kediaman Smeagol! It's truly awesome. Tempat ini merupakan lokasi terfavorit aku.



Warning: meskipun Wikipedia bilang kawasan ini terbesar kedua di dunia, namun keseluruhan tempat ini gak rekomended buat mereka yang paranoid sama kaki seribu yang warnanya item, besar, dan tentu saja berkaki banyak. Soalnya di daerah inilah mereka membangun kerajaan dan kuburannya. Juga gak direkomendasikan buat mereka yang takut gelap dan gak bawa headlamp karena di dalam gua gak ada neon.



Setelah melewati gua, tebing, dan sawah, akhirnya kami menemukan jalan desa buatan PNPM Mandiri yang mengarahkan kami ke tempat kami parkir tadi. Jauhnya kira-kira 1 km. Pokoknya Patrik mengeluh sepanjang perjalanan karena tak memakai sendal (sendalnya putus di awal perjalanan, ckckck).

Sebelum pulang, kami menyempatkan diri singgah ke dermaga Rammang-Rammang, membersihkan badan, berenang, dan paling penting bikin foto profil.





Nah, berikut saya menyajikan hasil jepretan saya tentang tempat yang kami kunjungi hari ini, "The RAMMANG-RAMMANG":







*****

And this is me, the author and the photographer:









----------------------------------------------------------------------------------

I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site

-----------------------------------------------------------------------------------------

PS:
Thanx to:
  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas, Paroki St. Paulus-Tello Makassar
  2. Member of Group : Maria 'Mariconk' Guhar, Arnold Dp, Patrick WP, Nugraha 'Memet' Hariandja, Winda 'Ciewind' Alwira, Ignatius 'Ndatau' Matuh,  Fbc Auguste, dan Katarina 'Kajol' Elsa.
  3. The participant: Veronika Leong, Kacenya Ciwind dan kekasihnya.
  4. Melky Meko untuk beberapa foto yang saya upload juga di sini.




Sunday, May 12, 2013

MALAM MINGGU TAK TERENCANA (Memandang Pantai Losari dari seberang)


Sore ini kuhabiskan dengan nonton film unduhan “Hansel & Gretel: Witch Hunters”. Tiba-tiba teringat kalo ini Satnite. Nelpon beberapa teman, tapi semuanya pada sibuk di dunia lain. Pengen solo party tapi logistik di kamar lagi kosong. Lirik dompet, isinya cuman lima ratus perak ^__^. Gak ada pilihan lain. Harus segera ke ATM. Pakean seadanya (gak mandi apalagi make up, hehehe) dan gak lupa nenteng kamera.

Ke ATM kok bawa kamera? … Biar keliatan sibuk, ^,^. Sebenarnya, keluar dari pintu kamar sempat mikir, "mo ngapain pake kamera?". Tapi udah males manjat tangga, … keputusannya: kamera ikut ke ATM.

Lepas dari ATM, niat berubah dari rencana pengen solo party, jadi pengen habisin malam panjang dengan teman-teman. Maka dengan Honda Blade, aku meluncur ke kos-kosan Agus. Biasanya malam minggu kayak gini kosnya si Agus rame sama para penikmat serial Spartacus atau film unduhan lainnya.

Apes, Agusnya gak ada. Cuman adiknya doang yang duduk manis nonton sinetron "Tukang Bubur Naik Kuda eps 7000" sambil makan kacang dan minum susu o__O. Nggak berniat mengganggu, aku pergi. Dengan demikian rencana berubah lagi. Mumpung bawa kamera, hunting malam.

Next destination, area reklamasi Pantai Losari yang katanya bakalan dibanguni Center Point Of Indonesia (CPI). Mungkin pemandangan indah saat malam di sana bisa bikin malam mingguku gak sekelabu malam ini --- langit terlihat tanpa bintang (jarak tempuh kurang lebih 10km dengan waktu 30 menitan dari rumah Agus). Itu pun pake macet. Maklum, malam minggu: yang punya kepentingan sampe yang nggak punya kepentingan pengen meramaikan jalanan).
Singkat cerita, aku udah sampe depan jalan masuk pulau itu. Pintu masuk pulau tersebut dipalang pake sebatang bambu (yang bikin pasti orang primitif kanibalis, hahaha).

Tiba-tiba ada cewek yang mendekatiku dengan tatapan sangar (emansipasi ternyata telah merambah dunia premanisme).

"Tiga ribu, Pak". Katanya ketus.

Masa bayar? Ini kan jalan umum, tukasku dalam hati.

Tapi, whateverlah daripada benjol (Pas disini soundtrack “Ya Sudahlah - Bondan” diputar)^___^.
Sepanjang jalan masuk yang berbatu dan gelap, setiap sisi kiri dan kanan penuh dengan orang yang lagi asyik pacaran. Tak sengaja (atau beruntung?) mataku menangkap adegan-adegan yang harusnya nggak dilakukan di tempat umum.

“ISTIGFAR oi. Ini jalanan!” Teriakku tapi nyangkut di tenggorokan, gak jadi keluar. Memahami dunia remang-remang jaman sekarang memang agak susah jika konsep di kepala masih etiket jaman pra-internet.

Entah malu atau cemburu, yang jelas, hanya aku yang datang tanpa pasangan :(. (Masih soundtrack “Ya Sudahlah - Bondan”).

Pelan-pelan kukeluarkan kamera, kayak slow motion di film Matrix. Takut dikira mo mengabadikan mereka yang lagi bercengkrama dengan cinta atau napsu (aku nggak ngerti). Maap, mbak-bro, I’m not pa-pa-paparazzi. Lagian, objek kayak gitu mana bagus di pajang di blog untuk orang sopan seperti saya, hahaha.

Mengingat sangat sulit motret dalam situasi minim cahaya, maka aku butuh sandaran buat kamera (lupa bawa tripod) biar gambar nggak kayak hasil motret alam lain, so jadilah sadel motor sebagai stabilizer. Bayangkan posisi motret dengan situasi seperti itu. Pasti gaya motretnya jadi abnormal (You must imagine it!). Tapi demi hasil yang keren, apa boleh buat tai kambing bulat-bulat ... hitam dan kecil-kecil lagi. (Kok jadi deskripsi tai kambing ... gak mutu). Nah, untuk mengurangi flare akibat spotlight dari beberapa bangunan tinggi, saya menggunakan hood.


Pokoknya, inilah hasil bidikanku malam ini. Just enjoy it.












 And this is me the author and photographer :