Sunday, April 6, 2014

PULAU LAE-LAE (Kelurahan Lae-Lae Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan - Indonesia)

Bertualang ke Pulau Lae-Lae sudah jadi trending topik bagi aku, Matuh, Memet, dan Patrik dalam seminggu ini. Tapi hingga tadi malam gak ada seorang pun yang bisa ditunjuk menjadi PJ-nya (keliatan dari muka mereka yang pura-pura bego) sehingga aku sangat pesimis kalau kami bakalan jadi berangkat hari ini. Makanya pagi ini aku bangun tanpa beban, tanpa merasa perlu mempersiapkan perlengkapan seperti kamera dan lain-lainnya.
Ito, aku, dan Patrick. Perhatikan posenya Ito ... agak gimana gitu.

Secangkir kopi panas sudah menunggu di meja untuk diembat. Aku mungkin bukan penikmat kopi sejati tetapi aku yakin banget bahwa hampir semua perubahan di muka bumi ini dimulai dengan secangkir kopi. Tetapi, pagi yang sempurna itu jadi gak sempurna lantaran selama merasakan pahit-manisnya kopi hangat, aku selalu terganggu dengan sms dari teman-teman yang menanyakan tentang tentang trip ke Lae-Lae.

Merasa sedikit bertanggung jawab atas perjalanan hari itu, ku-texting teman-teman PINTAS: “Bro n Sis, hari ini kita berangkat ke Lae-Lae. Kumpul di kostnya Bro Agus jam 11.30. Bawa uang 35rb. Bagi yang punya hammock, diwajibkan untuk membawanya. Bagi yang nggak punya, beli saja di toko-toko terdekat di kota anda”. Ito sempat nanya, PJ-nya siapa. Kujawab, nggak ada. Trip kali ini tanpa PJ. Semua bertanggungjawab atas diri masing-masing.


Perjalanan yang sedianya akan dimulai pkl. 12.00 wita, jadi molor sejam gegara menunggu Elsa dan Mardha menyelesaikan latihan sandiwara mereka (mereka memang pandai bersandiwara karena mereka sadar bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara ... - garing). Pkl. 13.19 barulah kami start. Cuaca sangat cerah dengan suhu udara yang sangat panas (hingga 33,7°C menurut indikator suhu pada jam tanganku). Pukul 13.51 barulah kami sampai di Pelabuhan Bangkoa karena terhambat dengan kegiatan belanja logistik di Alfamart yang  ternyata membutuhkan waktu lebih dari 15 menit.


Seorang pengemudi kapal mendatangi kami dengan menawarkan jasa angkutan sebesar 20rb/orang. Merasa kemahalan, aku menawar 10rb/orang. Singkat cerita, kesepakatannya menjadi 15rb/orang.

Belum juga naik ke perahu, seorang tukang parkir yang rambutnya gondrong-gak-keramas datang dan meminta 5rb rupiah per motor dan dibayar di muka. Waktu itu kami ada berdelapan (aku, Patrick, Ito, Agus, Conk, Elsa, Nat, dan Mardha) dengan mengendarai 4 motor. Beberapa teman nampaknya keberatan karena tampilan tukang parkirnya nggak meyakinkan tapi toh dibayar juga.


Nah, setelah semua naik ke perahu, kami berlayar dengan gembira sambil nyanyi lagu "pada hari minggu kuturut ayah ke pulau". Nggak terasa, sampailah kami di dermaga Lae-Lae. Di tepi pantainya terdapat puluhan kapal terparkir rapi. Sayang sekali pemandangan yang tak biasa tersebut juga dihiasi banyaknya sampah yang bertebaran dan bau yang tak diharapkan. Mungkin beginilah karakteristik pulau pada umumnya di Indonesia yang dihuni oleh penduduk yang berjumlah lebih dari 1000 orang.

Sekitar 500 meter dari pelabuhan akhirnya kami menemukan spot yang asyik buat beristirahat. Seorang ibu yang juga keliatannya nggak pernah keramas menghampiri dan menawarkan sewa pondok dengan harga 50rb/pondok. Kami menawar lagi sehingga menjadi 40rb/pondok. Setelah transaksi kami segera mencari pohon yang tepat buat hammock-an ria. Sayang sekali hampir separuh hari langit berwarna abu-abu.


Secara administratif, pulau ini merupakan sebuah kelurahan (Kelurahan Lae-Lae) yang terletak di Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Pulau dengan luas sekitar 0,05 km² ini dihuni oleh 400-an Kepala Keluarga. Artinya, penduduknya hampir 2000 orang. Pulau ini berjarak sekitar 1,1 km dari Pelabuhan kayu Bangkoa, dengan jarak tempuh 5 sampai 10 menit dengan kapal kayu/fiber yang menjadi angkutan umum regular.

Menanti Sunset ..
Pulau ini menjadi trending topik di antara kami karena meskipun dekat dari rumah, beberapa orang dari kami belum pernah menginjakkan kakinya ditempat ini padahal sudah bertahun-tahun hidup bahkan lahir dan besar di Makassar. Aku sendiri terakhir ke pulau ini kira-kira 26 tahun yang lalu. Waktu itu aku masih balita dan pulau itu merupakan salah satu tempat favorit keluargaku untuk berwisata karena murmer pada masa itu. Benar-benar nggak kebayang bagaimana pulaunya sekarang sebab ingatanku tentang pulau itu hanya samar-samar. Makanya ketika menginjakkan lagi kaki di pasirnya yang putih, rasanya seperti déjà vu.

*******

Nah, foto-foto berikut merupakan penampilan Lae-Lae dan pemandangan dari pulau ini:


















*******

And this is me, the author and the photographer:





Ini bukan lagi sujud atau terjatuh. Hanya salah satu style mengambil foto.



The story is under construction. Sila mengunjungi post saya sebelumnya.
I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site. Thanks.
 
Maaf bagi temen-temen slalu nelpon atau sms atau chat via FB minta ikutan dalam trip kami. Bukan bermaksud jahat tak mengajak kalian. Perjalanan yang kami tempuh selama ini pasti terasa berat, tidak menyenangkan, dan membosankan bagi kalian yang memang hanya ingin bersantai. Seringkali, kami menempuh resiko tersesat dan masuk di daerah yang kurang ramah terhadap orang luar. Aku tidak ingin menabrakkan kebetean kalian dengan keindahan dunia ini. Atas pengertiannya aku ucapkan terima kasih.

Oh iya, satu lagi, penampakan foto-foto yang ada di blog ini sudah dipress sedemikian rupa sama penyedia layanan blog ini (blogspot.com). Maka hasilnya pasti agak gimana gitu ...

Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas.
  2. Member of Group : Maria Triselia 'Mariconk' Guhar, Titor Efrem Nurak, Agustinus 'FCB' Duma, Catharina 'Kajol" Elsa, dan Patrick Wulaa Petrus.
  3. The participant: Mardha Afriliani dan Natalia Suling
  4. Ini bro Agus ...
  5. Patrick dan Agus untuk beberapa foto yang saya upload juga di sini. 

Saturday, April 5, 2014

MENYUSURI SUNGAI TALLO (Kelurahan Lakkang, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia)

Setelah mengajar, rencananya siang ini aku mendesign id card buat pengawas ruang UN 2014. Tetapi, komputerku di sekolah lagi ngambek. Setiap kali kutekan tombol power, dia hanya memberi tanda-tanda kehidupan sedetik. Artinya, bukan masalah pada power supply tapi sepertinya mainboardnya harus diganti. Nah, berhubung masalah penggantian itu harus menghubungi orang-orang di level atas yang kebetulan lagi nggak ada di tempat, akhirnya aku memutuskan untuk go-go-going home.

Sesampai di rumah, aku malah bingung mau ngapain. Makanya, kutelepon Patrick dan Matuh untuk menghabiskan sore di Lakkang. Nggak lama kemudian mereka tiba di rumah dengan penampilan a la bolang. Karena cuaca masih terlalu panas untuk jalan, mereka memutuskan untuk menghabiskan semua yang ada di meja makanku dengan gaya omnivora sejati. Setelah kenyang mereka pun tertidur untuk melupakan segala beban hidup akibat cinta dan cita-cita (... ebuset!).

Mengingat waktu dan cuaca yang semakin gak jelas, kubangunkan mereka tanpa kata-kata (hanya dengan sebuah tendangan tanpa bayangan). Mendung yang datang dari utara gak menyurutkan semangat kami. Bahkan ketika desah rintik hujan mulai membasahi, kami tetap berangkat.

Pukul 15.14 kami tiba di Dermaga Kera-Kera untuk selanjutnya menuju ke Lakkang. Hujan belum berhenti dan cenderung melebat (maksudnya semakin lebat ... menurut kamus bahasanya Vicky Prasetyo) tapi kami tetap menikmati perjalanan itu dengan bercanda dan berfoto dengan Sony Xperia G-nya Patrik yang anti badai. Bahkan sebuah film dokumenter abal-abal dan penuh imajinasi tingkat tinggi pun tercipta (beberapa video yang nggak mungkin saya upload di sini karena sangat memalukan untuk dipublikasi).



Lakkang merupakan nama sebuah pulau yang terbentuk dari delta dominasi sungai Tallo. Secara administratif, pulau ini merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Tallo, Kota Makassar dengan luas daratan sekitar 160-an hektar. Kelurahan Lakkang, dihuni oleh 131 KK yang kebanyakan bekerja sebagai petambak dan nelayan. Makanya kita bisa menemukan tempat pemancingan umum yang dikelola oleh warga di sini.

Meskipun disebut sebagai kelurahan namun suasana di tempat ini sangat asri karena tak ada jembatan atau jalan penghubung ke pulau itu. Satu-satunya akses menuju ke sana adalah dengan menyusuri Sungai Tallo menggunakan perahu selama 15-20 menit. Kehidupan di sini lebih mirip kehidupan di desa yang diwarnai dengan jalan-jalan setapak tak beraspal, empang, sawah, kebun, dan pohon-pohon yang rimbun. Di sini kita juga dapat menemukan beberapa bunker yang berukuran kurang lebih 2 x 2 meter. Bunker-bunker yang merupakan peninggalan tentara Jepang sewaktu menjajah Indonesia ini nampak tak terawat sehingga kelihatan seram ketika memasukinya apalagi pada saat matahari terbenam.

Sebenarnya yang paling menarik menurutku, bukanlah desanya tetapi perjalanan menyusuri sungai Tallo karena kita pasti disuguhi pemandangan yang super keren. Berbagai jenis burung dan ikan menemukan suakanya di sepanjang sungai ini. Meskipun sudah berkali-kali ke sana, aku masih memilih tempat ini sebagai salah satu tempat untuk membasuh jiwa dan dan raga.

****
Berikut merupakan foto-foto ke Lakkang yang kurangkum dari beberapa kali perjalanan menyusuri Sungai Tallo.




















*******

And this is me, the author and the photographer:






The story is under construction. Sila mengunjungi post saya sebelumnya.
I sincerely appreciate your taking time to provide your comments and feedback (by clicking on reactions or rate it). Jangan lupa, join this site. Thanks.
 
Maaf bagi temen-temen slalu nelpon atau sms atau chat via FB minta ikutan dalam trip kami. Bukan bermaksud jahat tak mengajak kalian. Perjalanan yang kami tempuh selama ini pasti terasa berat, tidak menyenangkan, dan membosankan bagi kalian yang memang hanya ingin bersantai. Seringkali, kami menempuh resiko tersesat dan masuk di daerah yang kurang ramah terhadap orang luar. Aku tidak ingin menabrakkan kebetean kalian dengan keindahan dunia ini. Atas pengertiannya aku ucapkan terima kasih.

Oh iya, satu lagi, penampakan foto-foto yang ada di blog ini sudah dipress sedemikian rupa sama penyedia layanan blog ini (blogspot.com). Maka hasilnya pasti agak gimana gitu ...

Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas.
  2. Member of Group : Maria Triselia 'Mariconk' Guhar, Ignatius Matuh, dan Patrick Wulaa Petrus.
  3. The participant: Mardha Afriliani.
  4. Patrick dan Melky Meko untuk foto diriku yang saya upload juga di sini.