Sunday, November 16, 2014

TANJUNG BIRA (Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan)



Hai teman-temin. Kali ini aku berada di salah satu tempat di Sulawesi Selatan yang banyak dikunjungi turis manca negara karena alamnya yang eksotik. Yep, benar! Obyek kunjungan kali ini adalah Tanjung Bira. Letaknya sekitar 206 km dari Kota Makassar dengan jarak tempuh sekitar 6 jam dengan menggunakan mobil. Sebenarnya sebelum ke sana aku survey dulu di beberapa blog tentang waktu tempuh ke sana. Beberapa menyebut antara 3 – 5 jam. Tapi beneran aku berangkat pukul 11.25 dari Jl. Cendrawasih dan tiba pukul 17.22.  Kecuali memang ada jalan pintas yang memungkinkan waktu tempuh lebih singkat atau supirnya pembalap nascar.
Teman-temin, sebelum ke sana saya sarankan untuk berdoa dulu supaya kamu jadi petualang yang keren dan luar biasa. Nggak usah bawa snack berlebihan karna nggak berguna bagi tubuh. Nggak usah juga beli kulkas, televisi, dan AC karena beberapa penginapan sudah memfasilitasinya. Lagian di sana banyak penginapan. Kalo budget kurang, silahkan bikin tenda yang nyaman dan aman. Bawalah selalu makanan sehat dan masaklah kopi dengan air bersih. Nggak usah nyari gampang dengan membeli segala sesuatunya.
Aku terakhir ke sini tahun 1998. Waktu itu, belum banyak penginapan dan harganya masih “terserah”. Pemandangannya juga masih benar-benar alami. Jika malam tiba, laut bertaburan hewan bioluminesensi yang bertaburan seperti bintang. Berbeda dengan sekarang yang sudah dipenuhi dengan penginapan dan berbagai macam lapak. Tapi dengan banyaknya penginapan saat ini pun nggak menjamin kamu akan dengan mudah mendapatkan tempat menginap karena sering sekali penuh apalagi Sabtu dan Minggu.
Sekarang ini, aku juga tak dapat lagi melihat keindahan bioluminesensi di pantai Bira. Mungkin kepunahan mereka di sini diakibatkan sama manusia yang kurang menghargai alam. Sayang sekali dulu aku belum punya kamera untuk mengabadikannya sehingga dapat dishare di sini.
Sebuah tulisan keren dalam bentuk prasasti yang sempat saya baca di tempat ini sangat menginspirasi kita untuk berbuat pada alam: "Rawatlah Keindahan untuk Anak Cucu Kita Kelak".
Pantai Bira merupakan sebuah pantai dengan pasir putih yang halus seperti tepung. Sebagai pantai yang ramai dikunjungi turis dan pendatang, pantai ini lumayan bersih. Aku, Matu, dan Bitte sempat menghabiskan malam di anjungan. Di sana kami melihat beberapa bule dan pemuda kampung yang bercengkrama sambil menikmati bir. Aku sangat terhibur mendengar modus curhat pemuda kampung dengan bahasa Inggris pas-pasan dan kacau balau.




*******

Nah, foto-foto berikut merupakan penampakan Tanjung Bira dan pemandangannya :




 












*******

And this is me, the author and the photographer:










Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas.
  2. Member of Group : Ignatius Matu dan Bitte.

Monday, October 20, 2014

GUA PATTA : Desa Samangki, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan - Indonesia

Sejak Sabtu, ajakan Arnold di WA ke Gua Petta, mengundang kontroversi hati (istilah vicky) karena di saat yang sama ada beberapa acara yang mengakibatkan hampir semua anggota PINTAS berhalangan untuk berpartisipasi. Tapi tekadnya sudah bulat sehingga beberapa orang yang lowong seperti saya, Patrick, Matu, Melki, dan Kiki saja yang bisa ikutan.

Aku bangun kira-kira pukul 07 pagi. Lebih siang dari biasanya. Makan pagi, siapin hardware seminimum mungkin mengingat kita akan masuk gua yang penuh dengan bebatuan dan air. Nggak mandi, hanya sikat gigi dan cuci muka, semprot parfum banyak, dan go. Tetapi gegara parfum itu Patrik sempat bilang ke aku, "Bro, kau harum sekali kayak pengidap homo akut." ^__^. Manusia ini memang kalo nyela bikin ngilu 'matahari'.

Perjalanan ke lokasi ini benar-benar amazing. Setelah  mengendarai motor selama lebih dari sejam, kami masih harus berjalan kaki sejauh 2 km (mungkin). Tak ada petunjuk sehingga nggak ada jaminan buat nggak tersesat dan pulang. Selain itu jalurnya kebanyakan mendaki. Jantung harus benar-benar kuat, tegar dan stamina harus benar-benar oke. Panas yang begitu terik juga membuat stamina saya cepat banget drop.


Bersiap-siap menuruni gua dengan memasang perlengkapan dengan benar. Hanya Matu yang mau turun tanpa baju. Tapi, menurut pengakuannya sendiri, dia terlihat manis dengan model seperti itu. Makanya sekarang dia dipanggil, "Cowok Manis" (Berasa aneh-gak-normal!). Padahal dengan penampilan kayak gitu dia mirip manusia gua zaman primitif-kanibalis.

Berpose cantipp sebelum masuk gua. Aku, Arnold, Kiki, dan Patrik. Matu yang motret sementara Melki sudah duluan menuruni gua. Dari wajahku sudah terlihat jelas kalo aku sebenarnya nggak berniat untuk turun setelah melihat medan yang akan dilewati. Tetapi karena di sekitar banyak sekali monyet, dan sempat bertemu babi-hutan-betina dengan segerombolan anak-anaknya yang unyu-unyu. Maka aku terpaksa memutuskan untuk turun juga. Kalo nggak turun, bisa bahaya, bro. Ada kemungkinan diperchaos sama monyet atau dianiaya sama babi-hutan-betina-beranak. Babi hutan kalo punya babies, pasti agresip to the max.
Eki dalam gambar ini hanya nampak seperti titik oranye saking besarnya gua ini. Menuruni gua keren ini nggak boleh bersamaan mengingat struktur batu yang mudah sekali runtuh sehingga dapat membahayakan orang di bawah kita. Kan 'gak lucu kalo baru di awal-awal kepala teman seperjalanan sudah berdarah-darah terkena batu cadas nan tajam gegara kita nggak hati-hati. Maka, setelah orang pertama sampai di titik aman, baru disusul sama orang ke dua. Nah, kalo kamu sendiri yang terguling itu baru masalah besar. Apalagi yang bodinya seukuran kuda nil. #ngelirikpatrik.

Setelah Patrik, aku bersiap-siap menuruninya dengan semangat abal-abal. Disusul Kiki, Arnold, dan terakhir Matuh. Akan tetapi, semakin ke dalam, adreanalinku rasanya semakin terpacu. Rasanya seperti ada sesuatu dalam darah yang terlalu bersemangat untuk meneruskan petualangan di tempat yang semakin gelap dan penuh dengan kejutan seperti bertemu jangkrik besar, laba-laba raksasa, kalajengking marah, massapi (belut) pemalu, dan makhluk-makhluk kegelapan lainnya.



Matuh memotret mulut gua dengan menggunakan kamera GoPro-nya. Tapi sayang ketika sampai di daerah yang gelap kameranya nggak berfungsi dengan baik karena gak punya flash. Ini mungkin bisa jadi masukan bagi produsen GoPro.

Perlahan-lahan aku menuruni gua yang curam dan dengan hati-hati berpijak di atas bebatuan yang tidak stabil dan licin. Meskipun pake sendal gunung tapi tidak menjamin kalo nggak akan tergelincir dan ta'bulinta sampai remuk.

Patrik baru mau memasang headlamp barunya biar dia bisa kelihatan keren. Suhu dalam gua nggak sama seperti di luar. Di sini dinginnya kayak di ruang ber-AC. Pokoknya semakin ke dalam semakin dingin. Tapi ada juga perasaan takut bernafas karena nggak yakin kalo udara dalam gua aman untuk dipakai bernafas.

Headlamp mulai menampakkan fungsinya. Bintik-bintik putih yang merusak gambar ini bukanlah efek kamera atau badai salju tetapi titik-titik air yang terlihat seperti kabut di dalam gua.

Arnold lagi masang webing untuk safety. Agak lama sih nunggunya makanya aku sempat motret beberapa pemandangan alam di sini cuma karena hasilnya nggak maksimal, gak jadi aku upload. Pokoknya hasilnya menjijikkan.

Setelah itu dia mulai menyusuri dinding gua dengan hati-hati karena daerah di belakangnya itu adalah jurang yang kalo orang jatuh bisa patah 10. Di seberang dia menambatkan tali itu sehingga kami semua bisa melaluinya dengan aman. Dia memang heronya perjalanan ini.

"Extrim, Sistah??" Tanya Matu. Kiki menuruni bebatuan ini dengan hati-hati karena sepatunya nggak terlalu cocok untuk medan. Bukan karena licin tapi karna dia sayang sama sepatu sendalnya itu. Memang sih, dia nggak terlalu siap dengan medan seperti ini karena informasi yang disampaikan Patrik kepadanya nggak maksimal. Makanya sepanjang perjalanan dia terus menyalahkan Patrik.

Akhirnya bertemu aliran sungai dalam gua. Tahap perjalanan berikutnya. Airnya benar-benar dingin tetapi segar banget.

Matuh lagi setting kamera GoPronya sambil menyesuaikan suhu tubuh dengan suhu air.

Berpose dulu sebelum sama-sama nyebur ke air yang ternyata dingin banget. Tulang belakang langsung ngilu kayak diserang hypothermia.

Seekor kuda nil nampak mengikuti dari belakang. Ngerinya miiiii!!

Keren sekali nampaknya bro Matuh. Btw, begitu keluar dari air,  tubuh kita langsung mengeluarkan uap.

Menyusuri sungai bawah tanah sambil berpegangan pada dinding gua biar aman.

Kedua orang ini benar-benar menikmati perjalanan. Sepertinya mereka bahagia sekali menjadi manusia gua.

Arnold, lagi selfie. Keren mentong ini bro satu.





Eki memberi tanda pada Patrik kalo sekarang dia berpijak di atas karang: "Awas kaki, Bro."

Setelah melewati sungai, kami harus melewati bebatuan dan turun ke level gua berikutnya. Di sini kadang-kadang kita mendengar air mengalir di atas kita.



Ketemu sungai bawah tanah lagi.

Kaki nggak sampai ke dasar. Makanya saya menggunakan life-jacket. Dengan alat ini kita bisa lebih tenang memilih jalur yang aman karena bila dengan berenang biasa, kaki kita bisa menghantam batu karang yang tak terlihat karena penerangan yang minim. Selain itu, alat ini juga menjadi penolong bila kita mengalami kram otot akibat kelelahan, melakukan gerakan ekstrim, dan suhu dingin.
Mengamati indahnya bawah tanah.
Matuh dan bayangannya


Mencari jalan terbaik ....


Ini nggak lagi manjat tapi lagi merayap di antara celah-celah yang sempit mencari jalan keluar. Di tempat ini, hampir semua bagian tubuhku lecet.

Lelaki besar ini hampir tak bisa melanjutkan perjalanan karena tersangkut. Tapi syukurlah karena kesaktiannya yang luar biasa dia bisa melewati segala halangan dan rintangan yang menghadang karena dia adalah sang Kuda Nil.
Berpose setelah menemui kebuntuan dan bersiap-siap untuk kembali ke dunia atas. Sebuah dunia yang dipenuhi kepenatan dan polusi. Dunia yang penuh dengan signal hp.







*******

And this is me, the author and the photographer:





 Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas.
  2. Member of Group : Ignatius Matuh, Melky Meko, Arnoldus, dan Patrick Wulaa Petrus.
  3. The participant: Kiki.